Minggu, 10 Agustus 2014

30 Minutes in Gaza

Sesaat aku terdiam di bawah tetesan air hujan yang memukul-mukul rambut dan tubuhku seperti ribuan kerikil yang jatuh dari langt.  Di kejauhan masih terdengar rentetan ledakan senjata api yang memekakkan telinga, ditembakan ke segala arah oleh pasukan pelindung para pengungsi, yang, sebagian dari mereka adalah anggota Hamas yang dikirim dari sebelah selatan Gaza untuk mengevakuasi siapa saja yang selamat di antara puing-puing kota yang hampir rata dengan tanah semenjak pesawat Israel menghadiahi distrik Rimal dari langit dengan ratusan pound bahan peledak  di setiap persimpangan jalan kota.
Tidak ada kesempatan untuk selamat bagi sebagian besar orang di dalam kota, tidak ada peringatan, tidak ada tanda-tanda akan adanya penyerangan sebelumnya. 
Aku teringat dengan cara kakekku di Indonesia untuk memusnahkan segerombolan tikus yang ada di pematang sawah menggunakan asap belerang, beruntung, fikirku, Israel tadi tidak menggunakan bom belerang.
Seminggu yang lalu, di distrik ini dihuni oleh  kurang lebih 2500 orang, sekitar 30an orang di antaranya adalah anggota Hamas yang ditempatkan untuk berjaga-jaga atas serangan ke Gaza dari arah timur.  3 hari yang lalu, seorang mata-mata ditangkap setelah kedapatan menghubungi petinggi mossad di Tel Aviv, setiap orang di Rimal tahu kejadian itu, tapi tidak satupun orang Hamas menerangkan atas kejadian hari ini, 30 menit yang lalu.
Orang-orang hanya melihat konvoi mobil Hamas menuju ke luar distrik tadi pagi, orang-orang mengira kepergian mereka berarti bahwa daerah ini telah aman dari serangan membabi buta dari Israel yang dilancarkan ke Gaza seperti kembang api tahun baru di Jakarta awal tahun lalu, begitu meriah, darah dan kepala serta potongan-potongan tubuh berserakan di dinding yang hancur, di jalan raya, di bawah lampu jalan, dimana-mana.

Sekarang begitu sunyi, bukan sunyi dari suara, bukan.  Melainkan sunyi dari kehidupan seperti saat 30 menit yang lalu.  Aku masih dalam perjalanan pulang ke rumah Roni, seorang kenalan orang lokal berdarah Indonesia yang meminjamkan kamarnya untuk kutinggali sementara waktu sampai aku selesai meliput keadaan di Gaza, sudah hampir 3 tahun aku hidup di negeri asing dan kacau ini, di tengah bisingnya suara perang dan hiruk pikuknya kematian yang memenuhi angkasa, dan bagaimana pula dunia tidak mengetahui hal ini?, bagaimanakah dunia bisa buta sementara para reporter disini mati satu orang setiap 3 hari di tengah liputan perang yang gila nan fantastis ini?.

Distrik Rimal adalah daerah teraman sepanjang jalur Gaza dan karena sebelumnya daerah ini dihuni oleh para diplomat asing dari berbagai negara serta jurnalis dari berbagai media.  Pengungsi dari jalur Gaza yang menyebar ke utara menjadikan tempat ini sebagai persinggahan sementara.  Disini masih ada toko serba ada yang masih mendapatkan suplai barang dari luar perbatasan, milik keluarga yahudi yang terkenal dermawan di distrik Rimal ini.  5 menit sebelum penyerangan, toko itu masih dibuka, pemiliknya pernah mengatakan bahwa selama masih ada seorang saja yahudi yang tinggal dalam sebuah kota, maka Israel tidak akan pernah menyerang tempat itu.  Saat ini, aku bisa melihat dari kejauhan, toko itu berubah menjadi puing-puing berasap yang hampir tidak bisa dikenali lagi bentuk asalnya.

Aku melihat seekor anjing di bawah tiang lampu jalan yang menggeletak kelelahan dan kelaparan, 100 meter dari rumah Roni.  Di Gaza, makan 3 kali sehari hanya bisa dilakukan oleh para petinggi pemerintahan dan militer, serta orang-orang Hamas.  Maka dari itu sebagian laki-laki dewasa menjadi anggota relawan Hamas untuk mengirimkan seluruh jatah ransum makan siangnya untuk adiknya, kakaknya, ibunya atau ayahnya.  Setelah terjadi ketegangan antara Israel dan Palestina, otomatis aktifitas ekonomi di jalur Gaza menjadi hancur lebur.  Selama ini sebagian rakyat di Gaza mengandalkan bantuan dari luar perbatasan untuk mencukupi hidupnya, di Rimal, orang yang mempunyai uang hanya para pencari berita dan kru nya, serta orang-orang Hamas.

Aku akhirnya menghampiri anjing itu dan membuka bungkusan dari ransel yang membebani punggungku.  Lalu kuambil roti kering dan membasahinya dengan ludahku yang sedikit, aku bersyukur bahwa ternyata anjing itu suka sekali dengan roti itu.  Kuperiksa bulunya, seekor anjing siberian yang manis dengan warna hitam dominan diselingi warna putih, tapi aku baru menyadari bahwa salah satu kaki belakangnya buntung sebatas tungkai dan kulihat lukanya baru mulai mengering.  Aku memutuskan untuk membawanya pergi dari tempat itu dan akan kurawat di rumah, jika dibiarkan saja, bisa jadi akan dibunuh dan dijadikan makanan.  Semua hewan di daerah ini yang berdaging, termasuk kucing, sudah hampir tidak pernah kulihat berkeliaran.  Pernah suatu ketika aku melihat anak-anak memanggang daging anak kucing yang sudah dikuliti kemudian mereka makan.

50 meter dari tempat tujuan, aku merasa perlu untuk mempercepat langkahku, sebab rintik hujan mulai turun.  Ketika itu, aku melewati sebuah bangunan beton bekas gudang penyimpanan makanan kaleng buatan lokal, aku mendengar sayup-sayup suara seperti pita kaset yang diikat kencang di atas layangan.  Itu suara pesawat terbang.  Suara itu datang dari timur, sesaat kemudian ledakan pertama terdengar dari pinggiran distrik, ledakan itu menghancurkan 3 buah bangunan sekolah dan sebuah sinagog kecil yang tidak terpakai.  Ledakan pertama adalah sebuah kejutan yang menghipnotis orang-orang untuk berhenti beraktifitas dan meyakinkan hati kami bahwa distrik teraman di jalur Gaza ini memang benar telah diserang ataukah hanya mimpi saja. 

Disusul ledakan kedua, dijatuhkan dari sebuah pesawat tempur jenis F-15 warna abu-abu dengan lambang bintang segi enam berwarna biru di bawah sayap sebelah kiri.  Ledakan kedua menghancurkan toko milik orang yahudi, dan orang-orang di dalamnya, barber shop di seberang toko itu, dan rumah nenek Fatima, seorang janda tua yang ditinggal mati oleh kedua anak laki-lakinya dalam sebuah pertempuran di perbatasan.  Aku berdoa di dalam hati agar si nenek mendapatkan kematian yang cepat dan tidak menyakitkan.  Ledakan kedua adalah pemicu kepanikan seluruh penduduk distrik, dan itu memberi tahu kami bahwa masa gencatan senjata telah berakhir. "Seluruh penduduk harap jangan panik, jangan keluar dari rumah, tetap bersembunyi di dalam rumah masing-masing", suara dari pengeras suara masjid besar di tengah distrik bergema berulang-ulang.  Banyak orang mengunci diri di dalam rumah dan bagi yang masih berada di jalan bersembunyi ala kadarnya, di balik tong sampah, di pinggir tembok bangunan, dan masuk ke dalam bangunan tua.

Aku sendiri merapat ke tembok beton gudang ini dan memeluk anjing buntung yang tampak kebingungan di tengah situasi yang kacau ini.  Aku hanya melindungi kepalaku dan anjing ini dengan tas ransel, sambil mengumpulkan kesadaran sepenuhnya terhadap kejadian yang tengah berlangsung sementara hujan semakin deras.  Aku melihat Roni melambaikan tangan dari lantai dua, entah dia melambai ataukah menyuruhku untuk tetap bertahan disini.

Bayangan pesawat muncul lagi di atas kepalaku, rudal dijatuhkan tepat di bangunan belakang rumah Roni.  Ledakan ketiga menghancurkan sepertiga blok bangunan di depanku, menghancurkan rumah Roni dan pemiliknya, ratusan ton partikel material bangunan dan serpihan daging serta darah berhamburan ke udara bercampur api.  Aku melihat bagaimana ketika rudal jatuh, dan ledakan itu memberikan tekanan dahsyat bagi objek didekatnya, seperti balon yang pecah karena tekanan angin.  Bangunan dari semen dan bata yang berhamburan, tubuh Roni yang terbakar dan hancur menjadi serpihan-serpihan.   Dan ribuan partikel yang berhamburan itu sebagian menyerbu sekelilingnya, aku pun tidak luput dari serbuan itu, seluruh tubuhku seperti dilubangi oleh besi tumpul yang panas, tapi aku tidak memikirkan itu, saat itu aku berpikir, akan seperti apa kah anjing yang kupeluk ini. 

Ledakan keempat menghancurkan masjid di pusat distrik, disusul oleh ledakan-ledakan lainnya.  Aku beruntung bahwa tembok yang ku sandari ini tidak hancur seperti di sekelilingnya, aku beruntung bahwa ransel yang kubawa ini melindungiku dan anjing ini dari serpihan-serpihan bom dan sempalan material bangunan.  Penyerangan itu hanya berlangsung selama 3 menit, tapi seluruh distrik rata dengan tanah.  Tidak ada puing bangunan yang tingginya lebih dari 2 meter .  Suasana pasca penyerangan benar-benar mengingatkan aku pada foto-foto kota besar dunia yang hancur saat perang dunia pertama.  Aku melihat di sekeliling hanya asap dan puing yang berserakan.  Ada pula sebatang besi sebesar lengan yang menancap di tembok kira-kira 3 meter saja dari tempatku bersandar.

Kakiku lemas dan tubuh terasa sakit, aku mendengar suara sirine dari kejauhan.  Tidak ada seorangpun yang selamat dalam radius 2 blok dari tempatku berlindung.  Aku merogoh ransel untuk mencari telepon satelit, menghubungi bantuan dari kedubes.  Di dalam telepon kujelaskan semua rincian kejadian, setelah itu aku melanjutkan perjalanan ke barat, mencari bantuan terdekat dan survivor jika ada, dengan anjing siberia di gendonganku.

Tidak ada luka serius di sekujur tubuhku, tapi di sepanjang jalan aku melihat banyak sekali potongan tubuh manusia dan orang-orang sekarat, semuanya dari yang tua hingga bayi.  Lebaran idul fitri kemarin saja aku harus berada di antara puluhan mayat anak-anak, benar-benar luar biasa negara ini. 

Aku berjalan hingga 4 blok ke arah barat laut, menuju stadion utama Palestina yang dibombardir Israel tahun 2006 lalu.  Di tengah jalan aku berpapasan dengan rombongan relawan, dan tim evakuasi yang menuju ke distrik Rimal.  Di belakangnya kemudian ada konvoi militer, sebagian adalah rombongan Hamas dengan persenjataan lengkap, buat apa?.

Sejenak aku berteduh di bawah puing tembok yang membentuk atap kecil, hujan masih belum reda juga.  Di daerah ini aku melihat lebih banyak yang selamat, tapi kulihat luka-lukanya cukup parah.  Seseorang di jalan memberitahu diriku bahwa pasukan infantri Israel mulai melakukan penyerangan susulan dari arah utara.  Dan tidak lama kemudian dari jauh terdengar suara pertempuran.  Semua orang segera dievakuasi ke tempat yang aman, aku kembali ke tengah hujan, si anjing kuletakkan di bawah puing tadi.  Aku memandang ke arah pusat distrik, semuanya benar-benar menakjubkan, seperti sulap saja yang mampu membuat pemukiman menjadi kuburan massal.  Hanya tampak hamparan gedung dan bangunan yang hancur, asap membumbung tinggi di beberapa tempat.  Lama aku berdiri di tengah hujan ini, sekarang keadaan menjadi aneh, kehidupan telah diambil dari tempat ini dengan cara yang luar biasa, suara rintik hujan yang mulai mereda dan diselingi suara-suara pertempuran di kejauhan membuat semuanya tampak masuk akal.

Aku mendapatkan kembali kesadaran yang meninggalkanku beberapa saat yang lalu, sebuah pencerahan tentang kejadian ini semua merobek selaput yang menutupi kepekaanku selama ini.  Awan mulai menghilang, hujan berhenti, peperangan nun jauh disana masih berlangsung, namun di langit sebelah barat kulihat ada pelangi.

Categories:

0 komentar:

Posting Komentar