Senin, 07 Desember 2015

Sejarah kebebasan berpendapat

Kebebasan berpendapat, merupakan hasil dari sekian panjang perjuangan manusia dalam upayanya untuk lepas dari belenggu perbudakan.  Bisa dikatakan bahwa kebebasan berpendapat beriringan dari ide Socrates dalam menyemaikan bibit demokrasi dalam sistem sosial Yunani ribuan tahun yang lalu, yang, karena "ulahnya" yang sangat suka menggosip itu, Socrates membayar harga sebuah kebebasan berpendapat, dengan nyawanya sendiri.
Tidak dipungkiri, pendapat bahwa demokrasi baru benar tegak di Yunani justru setelah eksekusi Socrates itu sendiri, memicu revolusi mental orang-orang untuk berani mengemukakan pikirannya yang selama ini dikekang oleh rezim saat itu, yang membuat orang-orang sadar betapa pemikiran untuk kebebasan adalah hal yang harus diperjuangkan, berapapun harganya.
Dengan itu resmilah Socrates menjadi martir layaknya Yesus yang mengorbankan tubuhnya untuk disalib demi membebaskan pikiran orang dari kegelapan akhlaq, seperti nabi Muhammad yang rela diusir dari sukunya sendiri keluar Makkah untuk memperjuangkan pendapat bahwa setiap orang memiliki hak untuk hidup layak dan lepas dari kesenjangan sosial, menghapus kejahilan warisan budaya yang angkuh di tengah kondisi yang tidak tepat.

Kebebasan berpendapat memiliki harga yang harus dibayar, tentu, sebab pendapat adalah hasil dari olah pemikiran, yang mana pemikiran itu sendiri pastilah menemukan perlawanannya akibat benturan kepentingan yang berseberangan.  Kebebasan berpendapat tidak sama dengan kebebasan berbunyi, sebab pendapat ada di dalamnya yaitu kepentingan, konsep dan tanggung jawab. 
Pendapat lahir dari sebuah kepentingan, baik itu individual, kolektif atau global.  Sebab kepentingan itu yang memotivasi orang untuk merealisasikan pikirannya ke dalam alam yang sama sekali berbeda.  Kepentingan menimbulkan keinginan dan usaha yang diracik untuk bisa dimengerti ke dalam sebuah konsep, konsep ini yang merupakan cikal bakal berkembangnya sebuah gerakan nyata.
Perbedaan anarki dan pendapat terletak pada tanggung jawabnya terhadap elemen sosial yang terjangkau oleh konsep itu.  Tanggung jawab memberi batas yang tegas bagi suatu konsep apakah pemikiran ini layak diperjuangkan atau hanya sekedar bunyi berisik yang tidak memiliki nilai untuk disebut pendapat.

Perbedaan pemikiran yang didasarkan pada kepentingan, memicu suatu usaha untuk membungkam entitas yang berbeda dari bentuknya sendiri demi mempertahankan supremasinya sebagai entitas "yang utama", yang dianggap paling penting bagi pihak yang memiliki pemikiran tersebut.  Hal ini, dalam masa-masa kegelapan yang terjadi adalah terbentuknya kekuasaan yang cenderung membungkam bahkan membunuh pendapat yang berbeda dari pendapat yang memiliki kekuasaan, kekuasaan yang didasari atas ketakutan atau pendapat mayoritas.  Alasan paling utama dari pengekangan pendapat ini adalah masalah stabilitas sosial, dan sayangnya, alasan ini paling masuk akal meski melanggar hak dasar manusia untuk memiliki pendapat dan mengemukakannya.

Adalah fakta bahwa pencapaian tertinggi suatu peradaban justru diraih di bawah sistem sosial yang diktatis, Mesir, Yunani, Romawi, Tiongkok, memiliki sejarah gemilangnya di masa kekuasaan yang bersifat absolut-tunggal.  Apa pasal?, karena dalam membangun sebuah peradaban yang utuh dan sesuai dengan visi, kekuasaan meminimalisir hal-hal yang bertentangan dengan dirinya untuk memusatkan konsentrasinya.  Kita lihat jaman presiden Soeharto, berapa banyak orang tua kita merindukan zaman dimana sedang gampangnya memenuhi kebutuhan ekonomi dan pembangunan kelihatan dimana-mana.  Tentu, tak bisa dibilang sedikit orang yang trauma hidup di zaman orde baru dimana pikiran yang bertentangan dengan kekuasaan berarti harus disingkirkan.

Kita berbicara tentang kepentingan individual, kolektif dan global.  Kepentingan yang manakah yang harus didahulukan?, secara teori kita sepakat bahwa kepentingan global mestilah di atas segala-galanya.  Sayangnya, kepentingan global hanyalah kamuflase untuk mencapai titik aman dalam merencanakan kepentingan kolektif yang biasanya bersumber dari kepentingan individu.  Siklus ini nanti mengalami antitesa sehingga membentuk lingkaran siklus yang utuh dan berputar tanpa titik awal maupun akhir.

Jika anda suka menonton film Naruto, misalnya, kita bisa melihat berbagai konflik kepentingan disini yang membentuk rantai karma.  Pada awalnya perang antar klan membuat Hashirama Senju dan Madara Uchiha kecil menyadari bahwa penting untuk membuat suatu dunia dimana anak-anak bisa melewati masanya tanpa ikut menjadi korban perang.  Itu kepentingan global.  Namun belakangan perang merenggut nyawa anggota klan yang merupakan saudara kandung mereka, membuat Uchiha Madara harus berhadapan dengan klan Senju, Hashirama sangat terpukul melihat sahabatnya itu lupa terhadap kepentingan globalnya dan mempersempit kepentingannya menjadi kolektif, terbatas pada dendam klannya.
Cerita bergulir dimana kedua klan ini menjadi klan paling kuat dari semua klan yang ada, namun Madara yang dimakan oleh dendamnya sendiri justru jatuh terperosok kedalam kepentingan individual dimana tujuannya berubah menjadi orang yang lebih kuat dari Hashirama, sahabat kecilnya. Madara mengambil mata saudaranya sendiri untuk mewujudkan kepentingannya.  Namun apa daya, Hashirama yang teguh dalam usahanya untuk mewujudkan kepentingan global itu tidak bisa ditundukkan oleh Madara, dan menyadari kepentingan kolektifnya, klan Uchiha bergabung dengan klan Senju lalu membangun desa yang mewujudkan cita-cita kedua orang itu di masa kecilnya.

Namun, kebebasan berpendapat adalah hal yang benar-benar mahal harganya.  Suatu ketika klan Uchiha yang mengeluh karena merasa diperlakukan tidak adil dengan menempatkan mereka pada pengawasan yang ketat dan diberi posisi yang mengekang hak mereka untuk sama rata dengan klan yang lainnya, klan ini merencanakan pemberontakan.  Namun sebelum itu terjadi, kekuasaan desa membersihkan hampir seluruh anggota klan kecuali satu orang anak dari klan Uchiha yang dibiarkan hidup.  Pembersihan dilakukan dengan alasan stabilitas sosial.

Tentu saja kepentingan yang mendasari alasan "stabilitas sosial" hanyalah bentuk dari hegemoni kekuasaan dengan kepentingan kolektif bermodel mayoritas yang menciderai hak asasi manusia.  Ini juga bisa kita lihat dari agresi militer Indonesia ke Timor Timur jaman dahulu itu, dan mungkin sedang terjadi di Papua Barat.

Selama kepentingan itu bergulir, selama itu pula kita berkutat dengan soal kebebasan berpendapat.  Pendapat bisa saja berbenturan, namun kualitas pendapat tergantung pada sejauh mana kepentingan itu berdampak.  Kita bisa melihat betapa susahnya orang-orang penegak HAM di zaman dahulu untuk memperjuangkan aspirasi agar menyeruak dan tampil di muka publik sebagai bagian dari sudut pandang yang memperkaya kualitas kemanusiaan.

Kebebasan berpendapat berperan penting bagi perkembangan khazanah kejiwaan sosial menuju arah dunia humanis yang utuh dan cerdas.  Adalah Nelson Mandela yang merupakan bagian dari sejarah kebebasan berpendapat di Afrika, sebagai antitesa dari produk budaya Apartheid yang digaungkan kekuasaan demi kepentingan kolektif orang kulit putih.  Menyadarkan seluruh manusia bahwa siapapun berhak memiliki kehidupan yang setara tanpa dibatasi oleh ras.

Kebebasan berpendapat tidak lahir dari keadaan yang baik-baik saja, justru saat nilai-nilai dasar alamiah mengalami ketidakseimbangan, saat kemanusiaan sudah mulai rapuh, kebebasan berpendapat tumbuh untuk menyeimbangkan kondisi dan membawa sistem sosial ke arah kodrati, memberikan wawasan yang dimaksudkan untuk menjaga eksistensi manusia dari kepunahan.

Sejarah kebebasan berpendapat berkaitan erat dengan kepentingan, sehingga mulai darimana kepentingan itu beranjak, sampai dimana kepentingan itu menemukan titik jenuhnya, kebebasan berpendapat adalah konflik harmoni yang harus hadir demi tolak ukur kualitas alam.

0 komentar:

Posting Komentar