Jumat, 22 Februari 2013

Dunia yang indah

Louis Armstrong- what a wonderful world

"ari..!!, kenapa belum kau siapkan air hangat untuk bapak?!" sorot mata yang merah itu menghampiri bocah mungil yang sedang memegang periuk panas berisi nasi yang baru saja dihangatkan. "plak..!!" tangan sebesar bogem itu mendarat dengan keras, bocah mungil itu terjatuh, periuk tumpah, menimpa kakinya, sedang nasi berserakan dan sebagian berhamburan di seragam merah-putihnya yang agak kumal.  "ampun pak,.. ari barusan ngangkat nasi, air sudah dipanaskan.." sambil memijit-mijit betis kanannya yang terlihat memerah, semerah matanya yang berkaca-kaca.  Kemudian Ari memunguti nasi di lantai yang sudah terlanjur berserakan, memasukan sebagian kembali ke dalam periuk.  Dia berdiri lalu membersihkan butiran-butiran nasi di seragam sekolahnya, meringis sambil menatap bapaknya, "sebentar pak, ari ke belakang dulu.." ari mengangkat periuknya, berlari ke dapur dengan sedikit pincang.  "cepat...!!, bapak mau kerja ini..!, dasar anak gak berguna!.." sambil kembali melayangkan tangannya yang kasar ke belakang kepala ari.
Ari berada di dapur, menuang isi periuknya ke tempat nasi.  Sambil mengusap air matanya.  Di ujung meja dapur ia melihat pisau pemotong daging menancap tegak di atas parutan kelapa, bekas memotong bawang tadi pagi.  Pisau itu bersinar, menarik pandangangannya, seolah pisau itu memiliki jiwa yang menarik hatinya.  Harus apa?,.. kakinya pincang dan ada luka bakar baru disitu, seorang pria setengah baya yang duduk di atas kursi malas di ruang tengah itu, dan pisau itu.. belum lagi perlakuan yang kemarin-kemarin,, yang dulu-dulu,, harus apa?..

***


Di pojokan ruang yang dingin dan gelap itu dia meringkuk, lalu matanya menatap ke luar jendela berjeruji di depannya, dagunya diletakkan di atas kedua tangannya.  Masa depan di bayangannya menjadi semakin redup, dia merindukan mimpinya dimana dia sedang berpakaian rapi, mengenakan jas mewah, hitam-hitam, dasi yang mahal, sepatu yang mahal, rambut yang disisir rapi.. turun dari limousin berwarna hitam, disapa oleh ribuan penggemar, kemudian dia menyapa dengan lambaian tangannya.  Bayangan itu terdistorsi, mungkin angin lembab sedikit demi sedikit mengikis impiannya.

Kemudian dia menyandarkan punggungnya ke tembok, merenungi nasib dan apa yang ada di hadapannya.  Sekeliling tembok di ruangan itu bercerita tentang ekspektasi kebebasan, sebuah naluri manusia dalam keinginannya untuk mendokumentasi kejadian-kejadian, memori,.. teriakan-teriakan yang terkungkung dalam kapur bata merah yang tergurat di tembok.

Ruang 3x4 itu tidak pernah lebih terang dari goa, lampu 5 watt yang juga sudah lama tidak diganti itu juga mungkin enggan untuk bersinar, membuat suasana jadi remang-remang.  Pintunya sempit berjeruji, temboknya berjeruji.  Sekarang ruangan itu begitu sunyi, minggu kemarin masih ada temannya, dua orang.  Yang satu tewas dalam perkelahian, dan media massa meliputnya dengan judul "seorang narapidana tewas bunuh diri di kamar mandi", padahal 2 bulan lagi sudah waktunya bebas.  Yang satunya lagi sudah bebas kemarin, ditebus oleh bosnya, dan bisa dipastikan beberapa bulan lagi akan kembali ke dalam penjara, seperti siklus.

"Ari..!, ada seseorang yang ingin bertemu," suara berat itu berasal dari luar selnya, kemudian pria berseragam itu membuka gembok jerujinya, "cepat," katanya sambil membuka pintu.  Ari kemudian bergegas, penasaran dengan orang yang membesuknya, setelah hampir 10 tahun meringkuk di dalam penjara.

***

Sekat kaca tebal itu memisahkan dua orang pria, yang muda, dan yang tua.  Menit-menit awal masih saling berdiam diri, kemudian pria tua dengan kepala beruban itu mencoba untuk membuka percakapan.  "sudah sarapan?,"

Pemuda itu menatap tajam ke arah orang tua itu, lalu tidak terasa matanya berkaca-kaca.  "maaf pak, " sambil mengusap air matanya, dia berkata, "maaf jika ari selalu merepotkan bapak, ". Tangannya mengepal, memukul-mukul meja kayu di hadapannya dengan pelan.  Kemudian ari menunduk, "jika saja waktu itu ari tidak merobek perut bajingan itu, mungkin ari akan kehilangan bapak.." air matanya menetes ke lantai... "Ari sayang dengan bapak, cuma bapak orang yang ari miliki di dunia ini.."

***

(10 tahun lalu)

Pisau di ujung meja itu sangat menarik perhatiannya, ada apa gerangan kah?... tiba-tiba dia ingin sekali menggenggamnya, dan tidak kuasa untuk melawan keinginannya tersebut.  Dia menghampiri pisau tersebut dengan kaki yang pincang.  Dipegangnya pisau besar tersebut, ya, dia merasakan sensasi luar biasa, tapi tidak tahu dari mana asalnya.  Kemudian mencabutnya dari parutan, pisau itu lumayan berat jika hanya digunakan sebagai pemotong sayuran.  Pisau itu bersinar, pisau itu semakin memikat hatinya manakala wajahnya terlihat sebagai refleksi di dalam pisau tersebut.

"hei Jafar!!, " suara itu memecah suasana, "brak..!!" terdengar suara pintu dibuka dengan paksa.  Ari bergegas menuju ke arah ruang tamu, disana bapaknya sudah berada di hadapan pria berambut gondrong mabuk yang sedang mencengkeram kerah bajunya.

"mana janjimu untuk membayar hutang?!, " kemudian dia mengeluarkan sebilah golok dari belakang bajunya, "atau kamu cari mati, heh, jafar??!!" sambil menempelkan golok ke leher Jafar.
"sabar dulu bang, aku sudah janji besok, bukan sekarang.." kata Jafar dengan terbata-bata, "ahh.. aku mau sekarang, bukan besok!!" kemudian pria itu menendang dada Jafar, dan dia tersungkur menabrak meja kaca yang lalu pecah.  Jafar berusaha bangkit untuk menyelamatkan diri, namun pria itu mengayunkan goloknya ke punggung Jafar, darah bercipratan kemana-mana, jafar tersungkur di ruang tengah.  Nampaknya pria itu belum puas, lalu mengejar jafar dan sekali lagi dia berusaha mengayunkan goloknya ke arah kepala jafar.  Namun tiba-tiba pria itu berhenti, matanya terbelalak.  Pisau selebar dua inchi itu menembus dada kirinya, kemudian berjalan merobek perutnya.  Lalu dengan berulang-ulang daging di tubuhnya ditusuk dengan pisau daging, Ari sedang kalap menyerang membabi buta ke arah pria itu, dia melakukannya dengan mata yang nanar, dan,.. sedikit senyum di bibirnya.

Kemudian melihat bapaknya yang bersimbah darah, ari menghentikan sejenak aktifitasnya, kemudian terhenyak sendiri dengan apa yang baru saja dilakukannya.  Dia melihat pisau besar yang berlumuran darah itu, dia melihat lemari kaca di sampingnya, ada anak kecil berseragam merah-putih, yang sebagian besar menjadi merah lantaran lumuran darah.  Anak itu sedang memegang pisau besar, lihat,.. betapa kejamnya anak itu, mengapa bisa terjadi?.

Lalu ari membuang pisau tersebut ke sudut ruangan, dia melupakan perasaannya, dia hanya terfokus pada ayahnya yang sekarat di ruang tengah.  Kemudian dia menghampiri ayahnya, berusaha sekuat tenaga untuk menggendong ayahnya ke luar rumah, lalu berteriak-teriak minta tolong.  Semua menjadi terasa berat, matanya lelah, bau anyir kemudian memenuhi hidungnya.  Para tetangga berdatangan, paru-parunya terasa asing, Ari ambruk ke tanah..


***

Pria tua itu berusaha untuk menggapai pemuda di balik kaca, meski tahu tidak akan bisa.  Air matanya ikut menetes, lalu sebentar kemudian membanjiri pipinya.  "sini nak, sini.. maafkan bapak yang tidak bisa mengurusmu dengan benar..", dia hanya bisa mengelus kaca di hadapannya.  Pemuda itu mendekat ke arah kaca, menempelkan pipinya yang basah karena air mata.  Jafar kemudian mengelus pipi Ari dari balik kaca, "setelah ini, jangan menyerah untuk melanjutkan hidup, nak.., Tuhan selalu punya rencana indah untuk kita, dan, percayalah bahwa hidup selalu punya caranya sendiri untuk mengajari manusia.. ".   Kemudian bapak beranak itu berpadu dalam suasana hening, keduanya berusaha untuk meresapi pertemuan hari ini, karena mungkin tuhan punya rencana lain besok.

...


Louis Armstrong- what a wonderful world
Categories: ,

0 komentar:

Posting Komentar