Kamis, 21 Maret 2013

Sederhana yang Berguna

Dan, setelah seharian berkutat dengan kerjaan akhirnya bisa juga nyuri waktu untuk mampir ke blog dan posting sesuatu yang sedang nyangkut di kepala.  By the way, sudah agak lama juga gak posting ya, setelah ultah kemarin tiba-tiba hasrat menggebu untuk posting muncul kembali.

Nah, jadi begini.  Kita tahu bahwa menginginkan segala sesuatu adalah sifat alamiah manusia, dan itu sah-sah saja asal caranya baik dan benar.  Bahkan itulah justru yang membuat dunia ini hidup, karena ada hasrat, ada passion yang secara kompleks dan berkaitan memutar roda kehidupan.  Hasrat-hasrat itulah yang menorehkan warna di muka bumi, yang mampu membangun gedung-gedung setinggi langit, mengeringkan lautan, membuat kita mampu berbicara tanpa harus membuka mulut dan bertatap muka, berbelanja tanpa harus jalan ke pasar, menumbuhkan berbagai tatanan sosial baru beserta polemiknya.

Seseorang pada awalnya 'berkhayal' tentang cara untuk bisa terbang seperti burung.  Kemudian, dengan hasrat yang kuat itu tadi, dimulai lah berbagai cara untuk mempelajari, membuat dan mencoba untuk terbang seperti yang diinginkan.  Sekarang?, kita bisa menempuh perjalanan sangat jauh dengan waktu yang sangat singkat, dengan 'terbang'.  Dan berbagai hal yang pernah HANYA hadir di dalam dunia imajinasi manusia kini sudah mampu keluar dari perbatasannya, menembus dinding-dinding kemustahilan yang sesungguhnya terkekang oleh ketakutan orang untuk lepas dari dirinya sendiri.

Dari hasrat itu tadi seseorang kemudian memperoleh pembenaran terhadap apa yang diinginkannya,--selain cara untuk mewujudkannya.  Itu, pada awalnya tidak benar-benar akan menimbulkan masalah.  Namun ketika kehidupan mulai beranjak kepada keadaan yang lebih kompleks seperti sekarang, hasrat yang keluar dari dalam diri manusia patut pula kita pertanyakan; sudah benarkah?.

***

Seorang wanita 'cantik' di kantor selalu bicara tentang berbagai hal yang sangat menggangu di telinga saya, bukan hanya karena suaranya cempreng, namun apa yang dibahas itu sebenarnya sangat tidak enak untuk dikemukakan, apalagi mengingat orang-orang di sekitarnya.

Bukan hak saya memang untuk mengatur apakah anda ingin itu atau ingin ini dan lain sebagainya.  Seorang wanita yang rupawan, misalnya, boleh saja mematok standar hidup yang dianggapnya sesuai. Boleh, itu sangat boleh.  Bahkan untuk sekedar mengatakan seperti, "kalo aku mah pilih cowok yang minimal bawaannya Honda CRV", atau "cowok yang boleh deket sama aku itu harus pengusaha dan anak orang kaya", itu boleh saja.  Dengan satu catatan; tempatkan dimana semua itu harus dikatakan, dan jangan katakan dimana itu seharusnya tidak perlu dikemukakan.

Mungkin sebagian dari kita(pria), punya angan-angan yang similar soal kendaraan, minimal, itu tidak akan jauh-jauh standarnya, misal jika saya sangat suka dengan Aventador ini;
image by : neversaycool.com

tentu sebagian dari anda juga tidak akan menolak bila dikasih satu biji kan?.

Masalahnya kemudian adalah, saya tiba-tiba punya perasaan tidak enak ketika meninjau ulang selera saya soal yang satu ini.  Jika saya punya mobil ini pun, memang buat apa? apa yang membuat saya ingin sekali memiliki mobil ini?, lalu jawabannya tidak pernah melesat jauh dari : ingin membuktikan--atau pamer?.

Dan juga harga mobil ini tidak murah, bisa buat bikin panti asuhan 4 biji kali.  Selain itu mobil ini pantang lecet, tidak cocok juga kalo dibawa melintasi jalinsum sepanjang Lampung Tengah yang mirip congklak raksasa.  Buat apa bagus tapi useless?.

Atau, kamu menikahi CR-V nya, perusahaannya, bapaknya atau jiwanya?.. *ehm

***


Kita perlu untuk meninjau kembali tujuan hidup.  Kita barangkali perlu menyisihkan waktu barang 5 menit untuk merenung di pojokan gudang kantor, memikirkan darimana kita melangkah, apa saja yang sudah kita lewati, dan ada dimana kita sekarang.  Dan ya, barangkali pula kita akan menemukan bahwa ternyata hidup kita masih abstrak!.  Tujuan kita diciptakan akhirnya tertutupi oleh lembaran-lembaran hasrat yang menumpuk tidak karuan di meja kehidupan kita.  Kita mengejar apa yang seharusnya belum dulu kita kejar, kita meninggalkan apa yang seharusnya kita lakukan sesuai dengan untuk apa kita diciptakan.

Barangkali, kita melihat segala kemewahan itu adalah tujuan sebenarnya.  Tentu, jika anda menaburkan satu rim kertas di atas meja kerja anda, dan menutupi permukaannya dengan kertas tersebut, anda akan melihat permukaan meja atau tumpukan kertas-kertas yang berserakan?.

Barangkali, dengan sedikit usaha untuk merapikan lembaran-lembaran hasrat itu tadi, kita bisa lebih jernih melihat permukaan meja kehidupan yang menunjukan kita sebuah peta tentang apa yang seharusnya kita lakukan.  Bingung?, yuk mari abaikan.


Kesederhanaan sering dipandang sebagai sebuah kekurangan, saya bilang inilah retardasi intelektual yang sesungguhnya.  Saya sendiri kadang masih terpaku pada sebuah anggapan yang menggiring opini tentang kesederhanaan kepada hal-hal yang 'nanggung', 'pas-pasan', atau 'kurang greget'.  Padahal sederhana sangat erat hubungannya dengan kata 'cukup'.

Cukup adalah keadaan dimana kita tidak perlu merasa takut untuk kekurangan atau menjadi terlalu rakus akibat kelebihan.  Segala sesuatu yang cukup itu baik, dan sesuatu yang baik mengarah kepada hal-hal yang benar.  Makan secukupnya, istirahat secukupnya, sms'an secukupnya, dan sebagainya.

Tentu lebih baik saya punya mobil pick-up tapi sering dipakai buat usaha dan menolong orang ketimbang punya supercar tapi hanya buang uang dan pamer.  Tentu lebih baik anda memiliki seseorang yang sederhana tapi mengerti dan tetap mau mencoba mengerti anda sebagai pasangan ketimbang memiliki pasangan orang berlebihan tapi anda selalu tersiksa batin, kecuali anda mau mendramatisir kehidupan anda sendiri. --itu lain cerita, dan, brainless....


Gays, hidup bahagia adalah ketika kita mampu menikmati apa yang kita miliki sekarang.
Bukan memiliki segalanya, karena pun, banyak orang yang memiliki segalanya juga tidak bisa menikmati apa yang mereka miliki.


Kita sering mengabaikan apa yang disebut dengan kesederhanaan, menyia-nyiakan apa yang sudah kita miliki, menyepelekan pemberian sang khaliq, banyak muluk-muluk, banyak useless-nya ketimbang useful-nya.  Kita selalu menjadi konsumen dan gagal berubah menjadi kreator.  Kita selalu digiring oleh hasrat yang acak-acakan kepada tataran terbawah rantai kehidupan manusia; kita hanya mentok menjadi user karena kita sudah berada pada taraf useless.

Manusia menjadi seperti itu lantaran dirinya sudah kehilangan kemampuan untuk menempatkan sesuatu sesuai dengan tempatnya, gagal menjadikan dirinya sebagai makhluk paling sempurna.  Karena kesempurnaan sejati timbul dari kesederhanaan, yang berguna bagi orang lain.  Mungkin kita bisa belajar dari rumput yang bergoyang.

0 komentar:

Posting Komentar