Yang kita bahas sekarang, bukan soal detektif-detektifan kedua kasus di atas, tapi lebih kepada essensi nya: bagaimana, hukum?. Seperti yang kita tahu, konflik horizontal seperti ini bukan tidak sering terjadi di Indonesia, hampir setiap semester kita disuguhi konflik-konflik semacam itu dengan background yang berbeda, dan bukan hanya di Lampung, tapi di banyak tempat di Indonesia, contohnya disini. Ini yang jadi pertanyaan, ada apa sih dengan masyarakat kita sekarang?, apa hukum sudah gak dipandang lagi?, apa garuda pancasila sudah gak dianggep lagi?, Soekarno-Hatta saja sampai tutup muka..
Negara kita dikatakan merupakan negara hukum, artinya segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara punya alurnya, punya tata caranya, punya kontrolnya : ada hukumnya. Kita bisa lihat di pembukaan UUD:
"Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia."
Negara Indonesia dibentuk dibawah konstitusi yang sedianya mengatur kehidupan bernegara, berkewajiban menjaga ketertiban dengan asas kemerdekaan, dan yang paling utama adalah memajukan kesejahteraan umum serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Masalahnya, siapa yang menjalankan semua tugas di atas kalau bukan kita sendiri?, masyarakat?. Karena masyarakat sejatinya adalah bagian dari negara, punya hak dan kewajiban yang harus diambil dan dilaksanakan.
DPR, Polisi, MA atau berbagai instansi kenegaraan terkait yang ada hanyalah fasilitas saja, kita lah mesin utama yang bertugas memacu, mendukung dan mengawasi berbagai fasilitas yang ada ini. Tanpa adanya kesadaran akan hal ini, kita sebagai warga negara tidak ubahnya manusia skeptis yang masa bodo dengan perkembangan negara.
Kembali ke kasus, konflik-konflik yang terjadi tentu punya sebab musabab nya. Ibarat pepatah, "Ada asap, ada api". Permasalahan kadang bermula dari hal yang kecil, tapi kecil-kecil jika tidak segera dicari solusinya, sama saja seperti membiarkan bapak merokok di atas tumpukan sekam.
Permasalahan sejatinya selalu ada, tidak bisa kita hindari. Namun yang terpenting adalah reaksi atas hadirnya masalah tersebut. Beragam masalah yang terjadi di Indonesia mustinya jadi pelajaran sendiri berkaitan dengan pengembangan solusi terhadap masalah di masa yang akan datang. Sehingga ketika ada persoalan yang disinyalir bermuara kepada 'tragedi' yang sama, kita mampu untuk meredam hal tersebut. Ini yang kemudian membuat saya bertanya, "apakah orang Indonesia susah belajar dari masa lalu?".
Hukum, dalam hal ini punya peran sangat kuat untuk mengontrol segala permasalahan, harusnya. Tapi ketika kita dihadapkan pada fakta di lapangan, hukum yang ada justru seolah tidak lagi berarti, bahkan aparat penegak hukumnya sendiri kadang kala dianggap tidak ada, eh, tidak dianggap. Bukan kah ini masalah yang serius?.
Kesadaran akan adanya hukum perlu lebih digalakkan lagi, harus, wajib. Kita tidak bisa menunggu korban berjatuhan lagi di tempat lain hanya karena orang-orang yang menyepelekan hukum. Penegak hukum pun harus punya langkah tegas, instansi hukum di Indonesia harus menunjukkan taringnya. Jangan seperti sapi ompong!.
Penyepelean hukum yang sering terjadi adalah ekses dari ketidakpercayaan masyarakat terhadap aksi penegak hukum di lapangan. Misal, kasus korupsi serta berbagai kasus besar lainnya yang justru ujung-ujungnya gak jelas penyelesaiannya, belum lagi ulah oknum penegak hukum yang kadang juga malah bikin jengkel, tidak sadar terhadap seragam dinasnya. Apa ini bisa dikatakan sebagai kegagalan hukum?.
Hukum kemudian dianggap tidak 'memuaskan' kepercayaan masyarakat dalam hal tuntutannya terhadap keadilan, sehingga untuk menyerahkan masalah sepenuhnya kepada penegak hukum itu dianggap bukan solusi, bukan sama sekali.
Akibatnya, masyarakat lebih memilih untuk menyelesaikan sendiri masalahnya, yaitu 'menggelar' sendiri pengadilan jalanan. Masyarakat awam dalam hal ini tentu bukan pihak yang kompeten dalam penyelesaian masalah hukum, sehingga ujung dari 'pengadilan jalanan' itu adalah sesuatu yang tidak baik. Siapa yang rugi?, ya masyarakatnya sendiri.
Ini menimbulkan pertanyaan baru: apakah yakin hukum negara ini masih di anggap ada?. Pemimpin kita di atas tentu pusing dengan berbagai masalah yang terjadi, kita tidak sepenuhnya juga menyalahkan pemerintah. Karena selain masalah konflik, ada ratusan masalah lain yang membayangi Indonesia, seperti kemiskinan, masalah pangan, korupsi dll. THINK!.
Wibawa hukum di mata masyarakat harus cepat diperbaiki karena hanya dengan cara itulah kedamaian dan keadilan bisa berdiri tegak, serta hukum kembali 'dianggap ada', tidak bisa tidak. Masyarakat juga harus dikembalikan ke jalan yang benar, harus ada upaya konkrit dari yang berkompeten masalah hukum untuk lebih mengontrol tindakan masyarakat. Pamong-pamong, ketua adat, atau berbagai pemimpin yang ada harus punya cara untuk menyadarkan kembali akan perlunya dan sakralnya hukum di Indonesia.
Selain itu, pendidikan tentang moral harus lebih dikedepankan, selain harus lebih banyak lagi lapangan kerja yang harus dibuka, semata-mata untuk menekan kecenderungan masyarakat dalam tindakan-tindakan yang bersifat destruktif.
Indonesia, dikenal sebagai negara yang masyarakatnya santun, ramah, dan berbudaya. Indonesia harusnya bisa menunjukkan bahwa negara ini bukan negara yang dihuni oleh orang primitif yang senang saling menindas, serta tidak taat hukum. Apalagi Indonesia dengan mayoritas muslim, yang di dalam agamanya sendiri mengklaim sebagai masyarakat yang memayu hayuning buwono, rahmatan lil 'alamin.
Bukan begitu?.
0 komentar:
Posting Komentar