Minggu, 28 Oktober 2012

Terserah apa judulnya

Hari ini, 28 Oktober 2012, untaian kata diketik, polemik negeri tercinta masih melekat di kepala.  Ini hari minggu yang sama dimana sekitar 84 tahun yang lalu, di Bangunan milik koh Liong(Sie Kok Liong) di Jalan Kramat Raya 106, sumpah sakral pemuda dengan cita-cita agung dibacakan di hadapan lebih dari 70 pemuda Indonesia, dengan sebelumnya secara elegan W.R. Soepratman mengalunkan nada-nada lagu Indonesia Raya.
Aku sejenak membayangkan suasana hikmat, sejuk, memenuhi seisi ruangan pertemuan kongres pemuda itu.  Kemudian secara tegas, lantang, sumpah itu dibacakan,

Pertama
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.
Kedua
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
Ketiga
Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Kata-kata itu, sumpah itu, bukan omong kosong, bukan seperti suara-suara narsisme orang-orang politik sekarang, bukan pula harapan-harapan kosong dari para pecundang penggemar musik, tapi itu sumpah, ya, itu sumpah.

Sumpah yang kemudian menyatukan visi misi pemuda-pemudi Indonesia, untuk bangkit dari keterpurukan, untuk berusaha mengangkat kepala ibu pertiwi yang diinjak-injak, untuk harga diri bangsa, bukan harga diri golongan tertentu.

Tapi itu dulu, dulu sekali,.. semua memori tentang sumpah pemuda hanya dikenang oleh segelintir orang, sebagian besar pemuda sekarang hanya pura-pura peduli, seperti melihat petir, terhenyak sebentar, kemudian melanjutkan kembali keasyikan mereka di dalam dunia hampa yang mereka nikmati, disertai langkah mereka yang gontai dan pandangan yang nanar tentang masa depan.

Sekarang sumpah tinggal sumpah, ibu pertiwi kembali bernoda, terluka, kepalanya kembali terinjak-injak.  Bukan salah siapa pun, kecuali anak-anak bangsanya sendiri, anak-anak yang di waktu kecil bermain di atas perutnya, anak-anak yang makan dari hasil kemurahannya, anak-anak kecil yang dulu, dipercayakan kepada mereka apa yang disebut harapan, harapan....

Kini ibu pertiwi menangis, tapi tetap pada kemurahannya, masih ada sejuta harapan dibalik kesedihannya. Masih tetap ada, harapan itu, menunggu untuk kembali melihat anak-anaknya yang lain tumbuh dan membuat ibu pertiwi tersenyum kembali.

Ibu pertiwi masih ingat sumpah yang dibacakan di atasnya, 84 tahun lalu, ya, dia masih ingat. Mungkin sang ibu masih tetap bisa tersenyum, kadang-kadang, ketika ingat bahwa harapan itu, selalu ada.
Categories:

0 komentar:

Posting Komentar