Minggu, 24 Maret 2013

Wakil masyarakat yang mana?

Jujur saya jengah, jengah sekali ketika suatu waktu(dan sering adanya) muncul sekelompok lembaga yang mengatasnamakan masyarakat atau wong cilik atau orang secara umum kemudian secara aneh sekali mengeluarkan statement yang--kembali--meminjam nama masyarakat.

Mereka itu seolah-olah menjadi pahlawan yang datang untuk membuat keadaan semakin mudah, padahal tidak.  Saya juga tidak mengerti apa maksud dari semua ini.  Ketika ada suatu kasus publik mencuat, mereka datang dan berkoar.  Berbuat seolah suara mereka benar-benar merupakan manifestai aspirasi masyarakat, berbuat seolah apa yang mereka lakukan adalah benar keinginan masyarakat.  Protes sana-sini dan membuat keributan, memancing orang lain untuk berbuat apa yang sebenarnya tidak mereka mengerti.  Saya tidak mengerti juga, mereka ini asalnya darimana?, memang kapan rakyat memilih mereka untuk mewakili masyarakat?, dan jika benar ada pemilihan, masyarakat mana yang memilih?.

Kita tahu bahwa masyarakat Indonesia masih sangat rentan dan cenderung latah, sedikit saja sentilan dari sebuah kelompok, akan banyak orang yang terpancing dan itu yang kemudian akan memperkeruh keadaan.  Yang saya sesalkan sekali mungkin adalah penggiringan opini yang saya nilai merupakan upaya oknum tertentu, entah apapun maksudnya, yang jelas firasat saya menyatakan bahwa ini bukanlah hal yang akan baik-baik saja.

Apa kita tidak pernah belajar dari zaman krisis keamanan di tahun 60'an dulu?, masyarakat kita sampai sekarang masih banyak yang belum bisa menilai sesuatu secara obyektif.  Apalagi Media yang mulanya dipercaya sebagai pemberitaan yang 'apa adanya', sekarang malah menjadi alat untuk propaganda.

Terakhir kasus penyerangan di LP Cebongan Yogyakarta, yang mereka nilai sebagai kasus pelanggaran HAM berat banget.  Kemudian saya tanya; emang ada membunuh orang dinilai sebagai pelanggaran HAM ringan?.  Artinya begini, media seolah menggiring kita pada opini publik baru soal penyerangan tersebut sebagai sesuatu yang tingkat urgensitasnya ribuan kali lebih tinggi dan kemudian menenggelamkan kasus lain yang sebenarnya punya daya kritikan yang sama; masih ingat kan kasus penembakan anggota TNI gara-gara melanggar lalu lintas di Baturaja itu?.

Kasus yang lalu saja masih belum kelar, ini kasus baru dan yang lama sudah hampir tenggelam tanpa kita diberitahu bagaimana kelanjutan kisahnya.  Belum lagi kasus-kasus publik yang mencuat dan menenggelamkan kasus korupsi yang juga punya urgensitas tersendiri.  Tapi kita tentu maklum akan hal ini: media harus punya berita yang fresh untuk dibahas agar rating mereka naik dan stasiunnya tetap ditonton orang banyak.  Lagi pula, kita lebih suka mendengar cerita fantasi ketimbang kenyataan hidup kan?.

Lembaga, atau kelompok atau siapapun yang merasa mereka adalah 'wakil' dari masyarakat, saya lihat berusaha untuk menjadi tim hore di tengah kasus publik itu.  Mereka datang tanpa undangan masyarakat, nanti pun akan pergi tanpa masyarakat tahu jejaknya, seperti jelangkung kan?.  Kita pun akan disuguhkan wacana-wacana aneh dan ganjil, kita dipaksa untuk menelan kebenaran yang mereka senandungkan atas nama masyarakat, atas nama kita.  Itu rasanya aneh sekali, seperti saat anda mengantri tiket kemudian ada calo yang menawarkan jasa.  Siapa yang berani menjamin bahwa calo itu benar-benar membawa tiket yang asli?.

Benar, itu lah yang saya pikirkan sekarang.  Calo-calo kebenaran ada di sekitar kita.  Apakah mereka akan mempermudah kita?, sama sekali tidak.

Kita harus berusaha mendapatkan kebenaran itu tidak dengan memakan hasil olahan orang lain, kita harus memikirkan banyak hal untuk mendapatkan kesimpulan yang tepat, terutama untuk hal yang sensitif.  Tidak sedikit orang yang masih awam dalam informasi, kewajiban kita adalah berusaha untuk tidak terpancing pada salah satu opini.  Kita tidak cukup hanya dengan mendengar, kita perlu membuktikan.  Dan ketika mereka berkata bahwa mereka adalah wakil masyarakat, wakil masyarakat yang mana?.

Karena ketika keadaan semakin sulit, tentu kita sepakat bahwa sebenarnya yang diinginkan masyarakat bukanlah hal-hal yang ruwet dengan banyak sekali kebisingan disana-sini.  Masyarakat yang sudah susah, jangan dibikin semakin susah.
Categories: ,

0 komentar:

Posting Komentar