Selasa, 08 Januari 2013

The Past, Now and The future : Tulang rusuk, Poligami, dan Gen


Tujuan umum dari pernikahan adalah 'mencetak' generasi manusia yang baru, sementara kualitas(dalam hal ini kecerdasan) sejatinya diturunkan secara genetik(1969, Arthur jensen), yang pada penjelasan lainnya pula dikatakan bahwa tingkat kecerdasan seorang anak mewarisi secara genetis sebagian besar dari ibunya(menurut Dr. Ben Hamel, ahli genetika UMC Nijgemen, Netherland).  Maka mungkin ini pula yang melatarbelakangi pedoman mengapa laki-laki sebaiknya memilih Wanita yang unggul, dalam kualitas diri, terutama kecerdasan emosional, sosial dan spiritual.



Tulisan ini dibuat di latar-belakangi oleh statement "Tulang rusuk tidak mungkin tertukar", yang sering muncul seharian kemarin di timeline twitter dan beranda facebook penulis.  Statement itu kemudian mengusik memori penulis tentang kenyataan di masa lalu, juga terkait dengan fenomena poligami.  Seketika juga penulis mencoba mengkomparasi dan menguji hipotesa sebelumnya dengan ini: jika tulang rusuk tidak mungkin tertukar dari pemiliknya, apakah sedemikian banyak tulang rusuk yang dimiliki, misal, nabi Sulaiman atau kita kenal di Alkitab dengan raja Salomo, yang diceritakan memiliki istri sebanyak 1000 orang, atau nabi Daud atau dikenal dengan Raja David yang sekurang-kurangnya memiliki 100 istri, atau kemudian lagi Nabi Muhammad yang diketahui memiliki istri lebih dari 9 orang.

Namun saat melanglang buana ke dalam dunia cybernetik, penulis menemukan artikel[1] yang, memberi tambahan, masukan dan/atau perbandingan soal cara pandang terhadap poligami, antara masa kini dan masa lalu.  Kemudian fokus topik berubah menjadi urgent-sitas poligami pada masa lalu dan sekarang, dengan memperhatikan kaidahnya yang termaktub di dalam Al-qur'an.

Pada masa yang lampau, kita akan menemukan fakta sejarah yang menunjukkan bahwa poligami mungkin lazim dilakukan.  Tapi merunut pada subjek sejarah pula, pelaku poligami kemudian kita ketahui umumnya merupakan orang-orang kelas atas semisal raja-raja, nabi dan orang-orang pilihan lainnya.  Pada masa sebelum dibentuk aturannya mengenai pembatasan poligami dalam Al-qur'an[2], seorang raja biasa memiliki istri lebih banyak dari sepuluh.  Dalam hal ini, kepentingan poligami di masa lampau adalah percepatan pertumbuhan manusia, serta dibutuhkannya keturunan orang-orang yang berkualitas untuk mampu survive dari alam yang keras dan juga membentuk peradaban lebih baik, berdasarkan keturunan orang-orang yang memiliki kelebihan-kelebihan ini.  Dengan kata lain, penulis mengutip, "Agar secepatnya manusia bertebaran di seluruh muka bumi, dengan membawa gen-gen yang terpilih tadi. ".  Pada masa lampau, poligami adalah sebuah kebutuhan, barangkali sekurang-kurangnya adalah kebutuhan sekunder, bukan tersier seperti sekarang.

Kembali kita perbandingkan pada masa kini, dimana poligami merupakan sebuah polemik yang tentu tidak lepas dari seberapa 'urgent' kah hal ini harus dilakukan.  Selain karena ini menyangkut 'wilayah sensitif' wanita yang merupakan objek dari poligami, kita tentu harus mengetahui bahwa kebutuhan dan kemampuan manusia setiap zamannya mengalami evolusi.  Al-qur'an dalam hal ini mengatur berbagai aspek yang sesuai dengan keadaan pada zaman akhir, dimana kebutuhan yang sedemikian kompleks dan kemampuan manusia yang cederung mengalami kemunduran.

Sementara kebutuhan semakin meningkat dan kemampuan mengalami kemunduran, maka poligami dalam masa ini adalah sesuatu yang cukup sulit untuk dijalankan, karena keadilan merupakan hal utama yang harus diperhatikan.  Namun, keadilan tentunya berhubungan dengan kebijaksanaan, dan kebijaksanaan bergantung pada kualitas manusianya.  Maka ketika ketika anda(laki-laki) memutuskan untuk berpoligami, penulis menyarankan agar terlebih dahulu ukur kualitas diri dan seberapa mampukah anda untuk memenuhi kebutuhan wanita yang juga mengalami transformasi pada setiap jamannya?.  Kebutuhan pula tidak hanya terkait soal materi, namun dalam ranah emosi juga perlu diperhatikan.  Maka kata 'adil' dalam perspektif penulis adalah alokasi kemampuan terhadap pemenuhan kebutuhan pada porsi yang akan dicapai.

Tujuan umum dari pernikahan adalah 'mencetak' generasi manusia yang baru, sementara kualitas(dalam hal ini kecerdasan) sejatinya diturunkan secara genetik(1969, Arthur jensen), yang pada penjelasan lainnya pula dikatakan bahwa tingkat kecerdasan seorang anak mewarisi secara genetis sebagian besar dari ibunya(menurut Dr. Ben Hamel, ahli genetika UMC Nijgemen, Netherland).  Maka mungkin ini pula yang melatarbelakangi pedoman mengapa laki-laki sebaiknya memilih Wanita yang unggul, dalam kualitas diri, terutama kecerdasan emosional, sosial dan spiritual.

Pada masa emansipasi wanita sekarang ini, dalam konteks bahwa wanita sudah mampu menunjukkan perannya di dalam kehidupan, maka hak dan kebutuhan yang dimiliki secara natural bertambah seiring dengan kualitasnya, wanita juga mulai memiliki ruang yang jelas dalam sebuah biduk rumah tangga.  Sebab intisari dari sebuah pernikahan secara implisit dijelaskan oleh Al-qur'an, adalah untuk memperoleh ketentraman dan membangun cinta yang hakiki [3].  Maka, ketika sang laki-laki tidak lagi mampu menjadi panutan dan mengerti kedudukannya terhadap wanita, serta lebih mengedepankan ego yang kemudian malah akan menyakiti salah satu pihak, runtuhlah essensi dari sebuah pernikahan.  Jika hakikat suatu pernikahan sudah tidak lagi tercapai, pernikahan mungkin tidak lebih dari legalitas pabrik manusia atau media untuk menyalurkan nafsu birahi.

Kita sama sekali tidak bisa menyamakan masa lalu dan masa depan dalam beberapa hal, terkait dengan degradasi yang sudah disebutkan, maka kegiatan poligami yang juga memiliki tujuan untuk meneruskan gen-gen terbaik manusia harusnya dilakukan dengan pertimbangan yang matang, bahkan bukan hanya soal gen, tapi dampak sosial, ekonomi, dan juga spiritual yang nantinya akan ikut dipengaruhi.

Jadi, anda boleh saja poligami, asal punya kualitas diri yang tinggi, dan mampu berlaku adil.  Nyatanya toh, di dalam Al-qur'an sudah diwanti-wanti soal poligami, dan dalam beberapa pendapat menyiratkan tentang batasan maksimal poligami.  Kontrol poligami didalam Al-qur'an jelas punya tujuan sendiri terkait dengan desain kehidupan di masa depan, ini mirip dengan yang penulis rasakan ketika memperhatikan ayat-ayat Al-qur'an yang mengatur soal perbudakan.  Budaya perbudakan tidak serta merta bisa dihilangkan di muka bumi, namun bagaimana pun, kontrol terhadap hal tersebut tetap harus ada meski pada akhirnya di zaman ini perbudakan sudah benar-benar dihapuskan.  Kenapa tidak dihapuskan secara langsung pada dasarnya antara poligami dan perbudakan punya tujuan yang sama, yaitu soal bagaimana manusia belajar sendiri dari proses realita yang sejatinya berubah pada setiap masa, menegaskan sendiri tentang kemutlakan ketetapan yang mengatakan bahwa; ciptaan pasti akan berubah seiring masa, karena tiada yang tetap selain Allah.  Selain karena itu pula cara agar manusia mampu memaksimalkan anugerah yang diberikan oleh Tuhan : pikiran.

Dan mengenai keberadaan akhir zaman, di mana dikabarkan bagaimana kaum alim(orang berilmu/berkualitas) diangkat/dibinasakan, artinya kemungkinan orang-orang berkualitas juga semakin sedikit, dan poligami tentunya harus dibatasi.  Bayangkan jika orang-orang yang tidak berkualitas melakukan poligami semaunya, sebanyak-banyaknya(karena merasa punya uang), dan si pelaku poligami yang kualitasnya rendah ini anak-anak nya kemudian banyak, bisa dibayangkan dunia mungkin akan dipenuhi orang-orang yang tidak berkualitas.  Sementara kita ketahui bahwa kemampuan manusia setiap masanya mengalami penurunan secara kolektif, mungkin sudah ditetapkan seperti itu menjelang akhir zaman.

Tapi dengan kondisi seperti yang sekarang, maka penulis lemparkan beberapa pertanyaan kembali : apakah mungkin?, dan jika mungkin, seberapa besar persentase kemungkinannya?.  Maka kemudian pada akhirnya essensi pernikahan yang secara ajaib disusun sedemikian rupa melewati berbagai zaman, kembali kepada fitrahnya.  Monogami menjadi pilihan paling aman dan tepat serta memang sesuai dengan essensi pernikahan pada awalnya.  Artinya, kembali lagi seperti nenek moyang kita, Adam dan Hawa : Seorang laki-laki untuk seorang perempuan begitu pula sebaliknya.

Akhir kata, penulis merasa sangat berterimakasih dengan adanya film Missing in action yang setia menemani penulis untuk menulis tulisan yang sudah ditulis dengan tulisan digital ini, penulis menyadari bahwa mungkin ada kekurangan yang tidak disengaja, baik gagasan maupun penulisan.  Karena ada filosofi "tiada gading yang tak retak", sekian.


[1]  sosbud.kompasiana.com/2012/02/01/anomali-banyak-istri/
[2] An-nissa:3-4
[3] Ar-rum:21
Categories: ,

0 komentar:

Posting Komentar