Sabtu, 01 Desember 2012

Sepatu boots untuk RISMA

"Harapan bangsa ini, memang, satu-satunya adalah masjid." Begitu lah kata salah satu tokoh masyarakat di kampung kami, kemarin malam itu, saat kami berkunjung ke rumah Beliau untuk meminta pendapat soal dibuatnya anggaran dasar serta anggaran rumah tangga bagi kepengurusan RISMA, Remaja Islam Masjid.
Apa yang beliau katakan memang sangat beralasan, melihat kondisi perkembangan anak muda di jaman sekarang yang kurang kontrol di berbagai bidang pergerakannya.  Di masjid, atau tempat-tempat Ibadah lain, mungkin adalah satu-satunya tempat yang masih dipercaya oleh masyarakatnya sebagai tonggak kehidupan yang 'murni', setidaknya tanpa campur tangan politik.

Di Masjid pula, orang-orang bisa berkumpul, berjamaah, dan tentu juga mungkin bisa menjalin silaturahmi.  Selain itu juga berbagai kegiatan bisa dilakukan dengan nyaman, serta menarik kembali sunnah secara konkrit.  Dalam artian, ketika ada acara di masjid, pastilah pakaian yang dikenakan adalah pakaian yang sopan, adab yang sopan, tutur kata yang sopan, dengan sendirinya kesadaran masyarakat akan implementasi sunnah akan terbentuk ketika sudah berada di ruang lingkup masjid, tanpa disuruh-suruh.  Sehingga kadang terlempar pertanyaan itu ketika sedang berbincang masalah sosial : "kalo bukan di masjid, di mana lagi?".

Pergerakan yang bernaung di bawah keagamaan tentu memiliki kaidah yang jelas, mumpuni dan mampu dipahami masyarakat sebagai acuan yang tegas, karena adanya batasan-batasan antara yang halal dan haram, yang baik dan yang buruk, acuannya adalah Al-qur'an dan sunnah, sehingga meminimalisir hal-hal yang negatif.  Tidak seperti pergerakan kepemudaan yang di luar jalur keagamaan karena memang tidak menjamin adanya hal tersebut, setidaknya secara legal.

Tapi apakah kemudian secara serta merta lembaga atau unit kegiatan di bawah jalur keagamaan tidak punya celah untuk 'dicurigai'?.  Ada, masalah penyusupan idealisme garis keras yang berujung pada tindakan terorisme itu, yang kita sering tahu di media massa.  Siapa coba 'tokoh-tokoh' umum yang muncul, entah itu eksekutornya, dalangnya, donaturnya..?, kebanyakan justru adalah orang-orang yang dipercaya masyarakat sebagai orang 'suci', pintar dan rajin dalam beragama.  Ini, rusaknya pandangan orang terhadap agama adalah karena "nila setitik, rusak susu sebelanga".

Itu lah, kemudian yang menjadi pikiran soal menghilangkan kecurigaan masyarakat itu, yang selama ini justru saya pahami adalah rasa was-was soal penyusupan radikalisme yang acap kali terjadi di ruang lingkup lembaga keagamaan, di mana-mana.

Kita tentu tahu, syubhat yang beredar di tengah masyarakat adalah hasil dari kenyataan juga, artinya memang bukan omong kosong, itu adalah kejadian yang benar-benar terjadi dan berpotensi pula untuk terjadi kembali.  Maka, kemudian diperlukan aturan yang jelas guna menyaring masukan-masukan yang nanti akan RISMA terima di masa depannya.  Supaya jangan ada lagi radikalisme di antara kita, benar kan?.

Belum lagi jika ada pandangan masyarakat soal sesuatu yang sensitif, apa lagi?, UANG.  Risma nantinya, akan sering berurusan dengan kegiatan keluar masuk dana yang pada dasarnya dan sebagian besar adalah hasil dari swadaya masyarakat untuk kegiatan Masjid.  Organisasi manapun tidak akan bertahan lama tanpa adanya dukungan, salah satunya masalah dukungan dana (yang meski dukungan itu bukan hanya dana, by the way), karena setiap kegiatan butuh sesuatu guna menunjang pergerakannya bukan?.  Kemudian ini juga yang mendasari Risma untuk membangun kepercayaan masyarakat, transparansi.  Khususnya masalah keluar masuk pendanaan dari setiap kegiatan.

Nah, maka dari itu, kami, atas bimbingan pamong kemudian berinisiatif membuat kejelasan-kejelasan, batasan-batasan, aturan, berupa Anggaran Dasar dan Rumah Tangga(AD/ART) itu tadi, agar jelas lah aturan main kita dan apa yang boleh serta tidak boleh masuk atau keluar ke dan dari RISMA.

Selanjutnya, masalah kewajiban.  Sebagai suatu organisasi yang bernaung di bawah masjid, otomatis orientasi kerja Risma adalah keagamaan, dalam hal ini kepada syi'ar Dienul Islam.  Ini saya pikir juga bukan hal main-main, sebab dakwah, yang Risma jalankan nantinya adalah hal pokok di dalam agama. Tentu, bimbingan dari tokoh keagamaan, alim ulama, adalah hal yang paling sering ditekankan.

Pendidikan tentu menjadi prioritas yang harus benar-benar digarap secara serius, karena adanya pemahaman agama dimulai dari ruang lingkup pendidikan itu tadi.  Menyusun pendidikan supaya benar-benar maksimal itu, bukan pekerjaan yang mudah juga.  Sebab disini sumber daya manusia yang mumpuni di bidang itu masih sedikit, meski tidak kekurangan.

Tujuan yang nantinya akan dicapai lewat pendidikan itu ialah regenerasi pemimpin Muslim, minimal regenerasi perangkat keagamaan seperti Imam, muazin, da'i, khotib, Al-barzanji dan lain-lain.  Banyak nantinya program yang akan dijalankan sesudah pendidikan mulai berjalan.

Masalah berikutnya yang klasik, dalam artian sering terjadi dalam ruang lingkup organisasi adalah dinamika kelompok.  Risma tentu menjalankan suatu keputusan yang dihasilkan berdasarkan musyawarah, suatu hal yang tidak pernah lepas dari anjuran syariat Islam.  Yang tentu, menyatukan kepala kepala itu pada satu visi, bukanlah hal yang sepele, kecuali Risma memakai kepemimpinan otoriter, yang jelas itu tidak diperkenankan karena tidak memanusiakan manusia.

Menghadapi dinamika kelompok di ruang lingkup organisasi adalah tantangan tersendiri, itu membuat saya merasa cukup menjadi manusia; di kala kita menyadari bahwa manusia di luar sana memiliki karakter yang kompleks, butuh penanganan yang berbeda-beda.

Mensosialisasikan sebuah pemikiran ke tengah-tengah orang banyak memang seperti memancing ikan; butuh kesabaran, teknik, umpan yang baik, dan lain-lain.  Dan yang paling penting adalah membuat ikan-ikan itu tertarik dengan umpannya.

Kadang, yang ditemui ketika sebuah pemikiran dilempar adalah malah timbul berbagai pemikiran negatif.  Ini yang kemudian jika tidak diselesaikan dengan transparansi akan seperti menyembunyikan puntung rokok menyala di dalam tumpukan sekam.  Meski sebenarnya masalah awal yang memicu adalah ketidakinginan beberapa orang untuk berada di 'bawah', tidak ingin diambil alih dan sebagainya.

Masih banyak lagi list masalah yang harus Risma selesaikan, dan harus diselesaikan secara bersama-sama, kompak, transparan, kepala dingin.  Sebab tanpa itu maka Risma kemudian hanya seperti zombie, berdiri namun tidak berjiwa.

Risma sebenarnya sedang merintis kembali semenjak vakumnya kegiatan kepemudaan di lingkungan kami, sehingga kami pikir perlu diadakan sebuah pemicu yang memproduksi gairah baru untuk lingkungan.  Maka perjuangan Risma yang sekarang bisa jadi sangat berat, sebab sama saja membentuk sebuah lembaga baru dengan orang-orang yang masih belum 'nyambung' sekali satu sama lain.  Yang jelas, Risma adalah organisasi yang bergerak secara konkrit untuk memajukan kehidupan masyarakat di bidang keagamaan, keilmuan dan sosial.

Di sini sudah mulai hujan semenjak saya sering bertukar pikiran dengan ketua Risma.  Jalanan becek, sumur mulai penuh air(alhamdulillah), dan di Jakarta juga sudah mulai banjir.  Sama beceknya dengan jalan yang akan Risma lalui ini, maka saya pikir perlu sepatu boots untuk membantu Risma berjalan di tengah kebecekan ini.

0 komentar:

Posting Komentar