Selasa, 25 September 2012

Kehilangan, cara lain untuk belajar menghargai.

Sesuatu yang datang, pada waktunya nanti akan kembali.  Sesuatu yang hadir pun ada saatnya untuk menghilang, bagaimana pun caranya, entah saat kita siap atau tidak, bagaimanapun keadaannya.  Sudah sunatullah, ditetapkan begitu, masalahnya adalah persiapan diri kita untuk menghadapinya.

Kadang kala, kehilangan punya arti mendalam di sisi lain, sebuah pembelajaran yang sangat berkesan.  Sehingga jejak yang timbul akibat kehilangan itu membekas dalam kenangan yang begitu mempengaruhi diri kita kedepan nya, misal soal arti menghargai.

Kebiasaan buruk manusia yang paling sering muncul adalah sikap abai, sebuah reaksi yang muncul akibat rasa bosan terhadap sesuatu yang ada di tangan, sehingga timbul sikap selalu ingin menyia-nyiakan, yang akhirnya cenderung tidak menghargai apa yang dimiliki.  Ini yang kemudian disebut sebagai sikap yang kuffur terhadap nikmat, berawal dari kesombongan diri yang merembes melalui wujud kebosanan.

Saya, atau anda, pasti pun pernah mengalami ini: ketika kita memiliki sesuatu, dan usia atau waktu meliputinya, terselinap rasa bosan di dalam hati, ada rasa kurang puas yang cenderung negatif terhadap apa yang sudah kita miliki.  Masih kurang puas itu manusiawi, tapi jika sudah diiringi oleh sifat negatif seperti rasa tidak menghargai itu tadi, yang intisarinya itu berasal dari kebiasaan memandang rendah, jelas tidak baik.  Ini mencerminkan kurangnya rasa qana'ah di dalam diri kita, padahal sifat kuffur nikmat yang seperti ini mampu menjauhkan makhluq dari sang Khaliq, saya lebih menyukai istilah terhijab.  Kenapa?, banyak orang diberi kemewahan, kelebihan, kecerdasan, tapi sifatnya jauh dari nilai-nilai luhur, jauh dari Tuhan.  Salah satu penyebabnya adalah rusaknya cara pandang, rusaknya cara pandang terhadap apa yang kita miliki akan membunuh nurani kita, menjadikan kita sebagai pribadi yang sombong.

Apa sih sebenarnya yang menyebabkan kita selalu kurang?, apa yang menyebabkan kita selalu dalam keadaan bosan?, apa yang menyebabkan kita menjadi kuffur nikmat?,:  tidak bersyukur.  Padahal Allah secara berulang ulang kali menyatakan: Fa-biayyi alaa’i Rabbi kuma tukadzdzi ban (“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?”).

Apa yang sudah kita punya, apa yang kita miliki saat ini, inilah amanat yang Tuhan berikan kepada kita, ini adalah tanggung jawab yang dipikulkan di pundak kita.  Tugas kita adalah merawat, membuatnya jadi lebih baik, menjaganya, menghargainya, kemudian hidup dengan integritas dibawah nikmat Tuhan, itulah cara mensyukuri, cara menghargai apa yang sudah diberi, tidak hanya ucapan syukur yang kemudian hilang ditelan waktu.  Banyak orang suka menyia-nyiakan sesuatu yang dimilikinya, dan ketika titipan itu dicabut, mereka tersiksa, baru menyadari.  Bukankah banyak orang yang sadar tertidur justru setelah ia bangun?.

Mau tidak mau, kehilangan merupakan sebuah cara lain dalam mengajar yang harus kita alami selama masih ada noda kuffur di dalam hati.  Mau tidak mau, kehilangan akan menjadi guru terbaik untuk menggembleng ketidaksadaran kita soal arti menghargai.  Dan, kehilangan secara bersamaan dengan sakitnya, harusnya mampu menginjeksikan sebuah penyelesaian dalam persoalan yang sering kita hadapi ini, sebuah tindakan preventif, pengalaman, soal, menghargai.
Categories: ,

0 komentar:

Posting Komentar