Sabtu, 11 Februari 2012

Hadiah Spesial Bagi Pembelajar



“Sudah kuduga. Coba kuperjelas... sebagian besar orang, jika mendengar rangkaian peristiwa, pasti bisa mengatakan hasil akhirnya. Mereka menyatukan rangkaian kejadian itu dalam benak mereka, dan menarik kesimpulan logis tentang akibat yang mungkin timbul. Tapi jika situasinya terbalik, jika kita memberitahu mereka hasil akhirnya dan meminta mereka merunut kejadian-kejadian sebelumnya, hanya sedikit orang yang mampu melakukannya. Itu yang kumaksud dengan berpikir mundur, atau berpikir analitis.”
 Sherlock Holmes



KETIKA saya mengirimkan pesan singkat kepada beberapa [sekitar 50% dari kontak handphone saya] tentang rencana untuk mendirikan perpustakaan [taman membaca] di gerbong dan peti kemas bekas – mengesampingkan rencana menuntaskan sebuah buku – seorang teman melontarkan protes, mengapa saya menunda buku tersebut, dan kemudian protes berlanjut pada dimintanya saya olehnya untuk menganalisis mengapa begitu banyak buku yang tidak diimbangi dengan minat orang-orang membacanya. Lantas, bagaimana kita menganalisis sebab mengapa banyak orang yang kehilangan minat bacanya?

Kita semua tahu bahwa lebih banyak orang yang memilih untuk tidak membaca buku – berbanding terbalik dengan banyaknya buku-buku yang terbit tiap bulannya. Apakah karena banyaknya buku, sehingga kita semua muak untuk membaca? Saya kira tidak. Jika kita mencoba berpikir ke belakang, sebenarnya kita lebih sering dijejali oleh buku-buku yang pada dasarnya membosankan, yakni buku pelajaran.

Buku pelajaran, sebagai salah satu cara bagaimana pemerintah menyetir pelajar dengan kurikulumnya, ternyata menimbulkan dampak menyakitkan. Keberadaan buku pelajaran nyatanya tidak menimbulkan atau menambah minat pelajar untuk membaca, dan tidak mampu menumbuhkan kesadaran pelajar untuk belajar. Sejauh yang saya alami setiap tahun, keberadaan buku pelajaran menjadi masalah yang tiada habisnya. Sejak SD hingga lulus SMA, setiap caturwulan atau semester, mau tidak mau saya harus membeli buku-buku pelajaran serta LKS, dan di antara buku-buku itu, banyak yang tidak diperlukan, sama banyaknya dengan yang tidak menarik dan penuh kebohongan. Parahnya, jika saya tidak membeli [atau membawa] buku-buku pelajaran tersebut, saya tidak diperkenankan masuk kelas, walau sejauh saya tahu, tidak ada aturan tertulis mengenai keberadaan buku atau LKS dan hubungannya dengan izin belajar di kelas.[1]

Hal ini diperparah dengan buku pelajaran – yang ternyata menjadi bisnis para guru dan Kepala Sekolah – yang harganya cukup tinggi dan bertambah setiap periode karena rata-rata [terpaksa] dibeli dengan sistem paket [sudah dipaketkan oleh sekolah] berharga mahal dengan kuantitas bukunya yang tidak kalah banyak, sehingga harga yang harus dibayar cukup untuk menguras penghasilan orangtua. Fenomena buku pelajaran ini menimbulkan dua paradigma. Pertama, bahwa buku itu mahal. Kedua, kita tidak boleh menyia-nyiakan buku mahal tersebut dengan membeli buku yang sejak awal dianggap tidak berguna, tidak ada manfaatnya. Hari berganti hari, bulan berganti bulan, pada akhirnya buku-buku mewah tersebut sudah dipak, dimasukkan ke dalam kardus, menunggu tukang loak datang untuk membeli buku itu dengan harga miring.

Jika ditelisik lebih lanjut, masalah buku pelajaran ini adalah akibat perjanjian kerjasama antara penerbit dan – Dinas Pendidikan, Kepala Sekolah, atau para guru. Buku, alih-alih menjadi sarana untuk menggali ilmu pengetahuan, justru menjadi sarana untuk memerkaya pihak-pihak tertentu. Walau di universitas kejadiannya agak berbeda – pelajar diharuskan memfotokopi master buku, dan pastinya menguntungkan pebisnis fotokopi kawasan kampus – yang cukup terkenal dengan koleksimaster bukunya.

Belum selesai berkutat dengan masalah buku pelajaran [bahkan membacanya pun belum], lagi-lagi para pelajar dijadikan objek konsumsi, dan kali ini barang yang wajib dibeli adalah LKS [Lembar Kerja Siswa]. Alasan yang dikemukakan oleh para guru tentang keberadaan LKS ini adalah untuk memermudah pelajar dalam memahami pelajaran, padahal secara logis, tersirat bahwa para guru pun tidak memiliki spirit untuk melakukan kegiatan pembelajaran [mengajar]. Demi mengatasi rasa malas mengajar dan menambah uang sakunya, akhirnya mereka menggadaikan status guru kepada penerbit LKS, memaksa para pelajar untuk membeli LKS itu walau manfaat yang didapat hampir tidak ada, dan lagi-lagi muncul aturan baru – siapapun yang tidak memiliki atau tidak membawa LKS, tidak diizinkan berada di dalam kelas. Akibatnya, para pelajar kehilangan keleluasaannya untuk membawa massa [beban] yang ringan ketika pergi ke sekolah – dan sejenak mari bayangkan jika pelajar tersebut kehujanan.

Jika kita renungkan apakah buku pelajaran dan LKS dapat menunjang pelajar dalam aktivitas pembelajaran, jawabannya tentu saja tidak. Secara fisik, buku pelajaran rata-rata cukup tebal dengan ukuran yang tidak friendly dan cukup berat – coba bayangkan bagaimana dengan text-bookmahasiswa, buku ‘Modern Refrigeration and Air Conditioning’ adalah salah satu contoh mengerikan – terlalu tebal dengan ukuran yang tidak biasa, berat, belum diterjemahkan, harganya mahal, jika difotokopi pun masih cukup mahal, dan versi ebook[2]nya pun berukuran hampir setengahgigabytes[3]. Kemudian, secara isi, buku pelajaran tidak memiliki layout yang menarik, dengandesign hitam-putih, isinya kebanyakan hanya teks formal, gambar dan diagram-diagram membosankan [tentu kita masih ingat dengan ‘ini Budi’] yang sukar diingat – apalagi dipahami, serta tidak imajinatif. Bukunya pun dicetak dalam kertas yang bahan dan ukurannya tidak menyenangkan. Lucunya, buku pelajaran sudah seperti makanan, memiliki expired date – bergantung pada apa kepentingan pemerintah ketika itu. Padahal, sesuatu yang harus disadari oleh penulis buku, khususnya buku pelajaran, adalah bagian imajinatif, dengan kata lain buku harus bergaya deskriptif dengan gambar yang mendukung kalau perlu. Maka, jangan heran jika pelajar lebih hapal dan paham novel Harry Potter yang isinya hanya teks ketimbang buku pelajaran fisika.

Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan AlQur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?
[Q.S. Al-Qamar, 54 : 22]

Sayangnya, orangtua dan guru lebih memilih untuk mengotak-kotakkan buku, sehingga rata-rata pelajar terhindar dari buku-buku semacam komik, novel, dan buku lainnya – apalagi yang bersekolah ketika jaman Orde Baru, yang membuat mereka yang hidup di zamannya benar-benar terbatas dalam memiliki buku dan membacanya – terutama buku-buku pergerakan semacam buku-buku Pramoedya Ananta Toer atau Soe Hok Gie. Mengesampingkan masalah Orde Baru, apapun buku yang memiliki unsur hiburan [berupa cerita] akan dianggap buku yang tidak pantas untuk dibaca – atau setidaknya dianggap tidak setara dengan buku pelajaran, yang kenyataannya hanya akan ‘benar-benar’ dibaca jika menghadapi ujian di sekolah.

Masalah lainnya yang selalu saya temui di akhir semester [atau akhir tahun] sejak SD hingga lulus SMA – adalah keberadaan buku-buku pelajaran yang [terkadang] selama bertahun-tahun [sejauh ini saya menghitung sekitar 12 tahun], menumpuk terbengkalai di salah satu sudut rumah – dan ternyata ini tidak terjadi pada saya saja. Bahkan teman-teman saya pun mengalaminya, dan memberikan keluhan yang tidak jauh berbeda – buku pelajaran yang bertumpuk, teronggok tidak berguna. Hal unik yang terjadi pada seluruh buku pelajaran saya ketika SMA kelas X [kelas 1] semester II – di akhir semester saya bahkan tidak sempat membuka plastik pembungkusnya.

Hanya saja saya berpikir, sesuatu yang tampaknya tidak bermanfaat, tentu masih menyimpan nilai benefit dalam bentuk perlakuan yang lain – dalam hal ini dijual kepada tukang loak. Hasil yang didapat pun cukup lumayan. Terakhir saya menjual buku-buku pelajaran dan LKS yang hampir tidak saya ingat isinya [dan belum saya isi] kepada tukang loak yaitu ketika SMA, buku-buku itu dihargai Rp2.000 untuk setiap kilogramnya, dan saya mendapatkan Rp120.000 – yang berarti saya berhasil menjual buku-buku itu sekitar enam puluh kilogram. Bayangkan, itu hanya buku-buku SMP kelas IX [kelas 3] sampai SMA kelas XI [kelas 2]. Bagaimana jika ditambah buku-buku pelajaran semenjak SD,kira-kira berapa kilogram yang berhasil saya jual dan kira-kira berapa uang tambahan yang saya dapat?

Sebelum saya mengemukakan fakta lainnya, saya ambil kesimpulan sementara bahwa sejak awal kita diajari bahwa buku pelajaran itulah buku yang ‘sesungguhnya’ dan itulah satu-satunya ‘rasa’ buku. Kesimpulan ini terkait dengan Teori Pemandangan[4] yang mengatakan dan menekankan bahwa yang namanya pemandangan itu adalah dua buah gunung dengan matahari di atasnya, ditambah sawah, dan jalan atau rel kereta api.

Dikarenakan fakta lainnya yang belum saya sebutkan, yaitu kita disibukkan untuk menulis hal-hal yang berkaitan dengan tugas, terutama mengulang-ulang tulisan huruf sambung, merangkum, menyalin buku pelajaran dan tulisan guru di papan tulis, serta sekedar mengisi LKS, sehingga imajinasi kita diberangus secara sistematis. Maka, tidak perlu heran, ketika kita menginjak tingkat sekolah menengah [SMP atau SMA], kita cukup kesulitan untuk membuat sebuah dialog singkat yang alami, menyusun sebuah naskah teater yang mengagumkan, apalagi menulis buku sekelas karya-karya Sir Arthur Conan Doyle, Agatha Christie, Enid Blyton, Alfred Hitchcock, Sidney Sheldon, Marting Lings, dan Karen Armstrong. Bahkan, saya cukup yakin banyak di antara kita yang tidak mengenal penulis-penulis yang sudah saya sebutkan itu.

Imajinasi yang sudah kacau balau kembali diserang oleh keberadaan televisi yang menyajikan sinetron-sinetron picisan dan film dubbing yang tidak bisa diharapkan. Saya pun tidak kaget jika banyak yang memilih untuk menonton televisi ketimbang membaca buku, dan banyak orang yang cenderung memilih sinetron ketimbang film asing yang memiliki subtitle [yang harus dibaca] karena pengucapan bahasa yang berbeda. Namun, jika ada yang mengkambinghitamkan game – dalam bentuk apapun – baik consolemobile console, atau personal computer, saya tegaskan bahwa perangkat tersebut tidak bisa dikategorikan sebagai perangkat anti-membaca. Karena justru dengangame, mau tidak mau kita – setidaknya saya – harus membaca, walau berbeda bahasa.

Dengan begitu, banyak penerbit lokal [di luar penerbit buku pelajaran] kekurangan buku-buku [naskah] yang menarik untuk diterbitkan, baik berupa karya sastra atau karya yang lainnya. Akan tetapi, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa honor penulis bisa menjadi keuntungan sampingan tersendiri, sehingga banyak yang berbondong-bondong mengirimkan naskah-naskah picisan dengan kualitas [mendekati] ‘nol’, dan penerbit pun pada akhirnya tidak memiliki pilihan lain, selain menerbitkan buku-buku yang missquality tersebut – akibat perbedaan kepentingan dalam menulis.

Beragam buku yang minim spirit itu tentu menggeser buku-buku berkualitas tinggi – yang mengakibatkan pelajar dan manusia dari lapisan lain kehilangan buku-buku berkualitas untuk dibaca, baik dipelajari atau dijadikan bahan rujukan atau inspirasi – dengan kata lain terjebak pada dua hal, terpaksa membaca karena dasarnya memang sadar, atau semakin meninggalkan buku-buku dan menanggalkan kesadaran pembacanya. Selanjutnya, kita cukup membayangkan pola ini terjadi secara terus menerus – dari waktu ke waktu akan membuat otak manusia berkarat dan mengancam kelangsungan hidup generasi berikutnya.

Serulah [manusia] kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah Yang Mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah Yang Mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.
[Q.S. An-Nahl, 16 : 125]




Oleh


Bandung, 9 Februari 2012 [Draft BAB BAKAR SAJA BUKU PELAJARANNYA]
____________________________________________________________________________
*)footnote
[1] Dalam kasus ini, sepertinya bisa dilaporkan ke Komnas HAM.[2] Electronic book, buku-buku hasil pindai atau yang dicetak dalam format digital.[3] Setara ukuran 1000-1024MB.[4] Biasanya teori ini ditemukan pada pelajaran seni rupa di sekolah dasar.
*) Tulisan di atas adalah tulisan original dari mas Ridha yang beberapa hari lalu di-tag ke aku lewat notes nya di facebook (aku udah ijin buat publish , btw)


0 komentar:

Posting Komentar